Cinta Mati Widad Selama Hayat Daif

“Hanya aku yang tahu warna kedua matamu, rupa wajahmu, berapa tinggimu, berapa banyak gula kau masukkan ke dalam tehmu, dan seperti apa sikat gigimu.”

Muhammad Daif, panglima Brigade Izzudin al-Qassam.

Enam tahun lalu di sebuah permukiman di Rafah, selatan Jalur Gaza. Widad Asfura bersama ibunya duduk bareng tetangga mereka. Kaum hawa ini asyik mengobrol.

Tiba-tiba saja seseorang ikut nimbrung. Dia bercerita soal rahasia perkawinan Muhammad Diab Daif, panglima Brigade Izzudin Al-Qassam. Dia bilang hingga saat itu Daif belum dikaruniai anak dari perkawinannya, Padahal sang istri sudah menjalani beragam pengobatan, namun tidak ada hasil.

Daif secara tegas menolak menikah lagi. Meski begitu, orang-orang terdekatnya menyatakan Daif perlu mempunyai putra untuk meneruskan nasabnya. Ibunya Widad secara spontan menanggapi hal itu. “Jika dia minta anak saya untuk dikawini, saya setuju. Itu bakal menjadi sebuah kehormatan bagi kami.”

Besoknya, utusan Daif datang ke kediaman Widad. Dia melamar Widad buat Daif.

Sejatinya, sang ibu sangat ingin menikahkan Widad dengan anggota Brigade Al-Qassam. Di matanya, para pejuang Al-Qassam itu adalah lelaki sejati. Dia tidak peduli tantangan dan risiko akan dihadapi putri dan mantunya nanti. “Saya hanya akan menikahkan putri saya (Widad) dengan tentara Brigade Al-Qassam,” katanya seperti termaktub dalam surat terakhir Widad buat suaminya, Muhammad Daif. Sang ibu sangat sering mengucapkan niatnya itu.

Widad adalah bungsu dari enam bersaudara. Dia mempunyai empat kakak perempuan dan satu abang lelaki bernama Ibrahim. Sang ibu begitu mengistimewakan Widad. Dia bilang Widad sangat berbeda dengan kelima kakaknya. Widad paling bersemangat menghapal Alquran, paling toleran, dan paling berkompromi meski dia berada di pihak benar.

Widad memang mengagumi Ibrahim. Abangnya itu pria saleh. “Saya memang amat dipengaruhi oleh dia dan saya sangat menaati dia seolah dia itu ayah saya,” ujar Widad. Dia masih ingat selalu membangun Ibrahim menjelang fajar untuk belajar saat ujian terakhir SMAnya.

Sang ibu benar-benar memenuhi niatnya. Dia mengawinkan Widad dengan Bilal Qasiaa, anggota Brigade Al-Qassam. Umur Widad saat itu baru 16 tahun. Dari hasil pernikahannya itu, Widad dikaruniai tiga anak, yakni Bayan, Bakir, dan Banan.

Widad mengaku benar-benar bahagia hidup bareng Bilal. “Kebaikan Bilal persis air terjun membenam jauh di dalam hatiku,” ujarnya. Namun kemesraan pasangan ini cuma berjalan tiga tahun.

Beberapa hari menjelang kematiannya, Bilal mengajak Widad dan dua anak mereka – Bakir dan Banan – ke pasar. Dia membelikan masing-masing satu pakaian baru buat mereka. Meski hasil tes kehamilan masih negatif, Bilal bilang dengan yakin Widad sedang mengandung. Dia benar. Widad melahirkan anak ketiganya diberi nama Bayan tanpa kehadiran Bilal selamanya.

Widad benar-benar terluka mendapati suaminya tewas. Dia merasakan kesedihan begitu mendalam setelah menjanda. Dia kerap menangis lantaran selalu terkenang Bilal. Pihak keluarga cemas.

Hingga akhirnya lamaran dari Daif tiba tiga tahun kemudian. Widad awalnya menolak. Batinnya bergolak. “Saya takut pernikahan saya dengan kamu akan menjadi sebuah pengkhianatan terhadap Bilal,” tutur Widad dalam suratnya. “Saya takut tragedi serupa akan berulang dan anak-anak baru saya akan menjadi yatim. Saya bahkan lebih cemas lagi jika saya mati syahid karena semua anak saya akan tanpa ibu.”

Widad baru mantap menerima pinangan Daif setelah mendapat persetujuan Bilal lewat mimpi. Apalagi Daif mau menerima syarat tinggal bersama Widad dan ketiga anaknya.

Keduanya menikah pada 2008. Tidak seperti pernikahan normal lainnya. Tanpa pesta meriah dan tidak banyak tamu. Resepsi berlangsung terburu-buru dan dihadiri orang-orang terdekat saja. Maklum, sebagai pemimpin Brigade Al-Qassam, Daif adalah buronan nomor wahid Israel.

Rupanya Widad tidak salah membuat keputusan. Dia mengaku hidup bareng Daif sama bahagianya saat bersama Bilal. “Jika saya hanya memiliki beberapa hari saja hidup bersama dia (Daif), itu sudah cukup buat seumur hidup,” kata Widad kepada kakaknya, Iman, beberapa saat setelah menikah.

Meski sangar dan tidak mau berkompromi dengan Israel, Daif adalah lelaki romantis. Widad masih ingat saat Daif memberi kejutan. Dia muncul dengan membawa banyak pakaian baru bagi istrinya itu dan keempat anak mereka: Umar, Ali, Halimah, dan Sarah. Widad tadinya ingin mensedekahkan sebagian pakaian itu buat orang miskin. Tapi dia mengurungkan niat itu. “Saya tidak bisa karena ini hadiah mengingatkan saya kepada mu,” katanya.

Widad sering terkesima menyaksikan suaminya bermain gembiran bersama anak-anak mereka, terutama si bungsu Ali. Daif begitu mencemaskan keselamatan mereka, sampai-sampai dia sering meminta Widad menutup jendela rumah mereka saat dia ada di dalam rumah.

Namun keduanya mesti hidup secara rahasia. Sejak menggantikan posisi Salah Syihadah, tewas akibat gempuran Israel, sebagai pemimpin Brigade Al-Qassam pada 2002, Daif harus menyamar. Dia mesti sembunyi-sembunyi menemui istri dan anak-anaknya di rumah.

Daif kadang mengirim kurir untuk memberitahu di mana mereka bisa bersua. Kalau Israel tengah mengamuk, Daif bakal mendekam lama dalam bunker atau terowongan. Dia tidak bisa dihubungi atau menelepon keluarganya karena memang tidak boleh membawa telepon seluler. Termasuk saat agresi Israel ke Gaza selama 50 hari berakhir Selasa pekan lalu.

Widad pun berusaha menutup-rapat-rapat kehidupan pribadinya. Dia tidak mau orang lain tahu dia adalah istri dari sang legenda sekaligus mitos, Muhammad Daif. Keduanya tidak punya foto berpasangan. Kalau sedang dalam sebuah acara, Widad lebih banyak diam. Sampai-sampai kakaknya, Iman, pernah bilang, “Oh Widad, jika kau bersumpah di depan mereka kau adalah istri dari Muhammad Daif, mereka pasti tidak akan pernah mempercayaimu.”

Widad seolah mendapat firasat dia tidak akan pernah bertemu lagi dengan suaminya itu. Dia pun membuat surat terakhir bagi Daif. “Kau telah membikin Israel gila lantaran hanya bisa melihat hasil dari tindakanmu tanpa bisa melihat wajahmu. Mereka berupaya membunuhmu tapi gagal. Semua negara ingin melihat bayanganmu, pahlawanku, meski itu dari jauh. Hanya aku yang tahu warna kedua matamu, rupa wajahmu, berapa tinggimu, berapa banyak gula kau masukkan ke dalam tehmu, dan seperti apa sikat gigimu.”

Ajal pun merenggut Widad bersama dua anaknya, Ali, dan Sarah. Rabu pagi itu, 20 Agustus 2014, Widad tampak sangat bahagia. Sambil menyeruput segelas kopi panas, dia asyik berbincang soal anak-anaknya dan kebiasaan mereka cekcok. Umar kemudian berlari menjauh ke arah Halimah. Sedangkan Ali dan Sarah tetap berada di sisi Widad.

Tak lama kemudian takdir pun tersingkap. Peluru kendali Israel menghantam rumah mereka di kawasan Syekh Radwan. Kota Gaza. Widad, Ali, dan Sarah mengembuskan napas terakhir mereka. “Saya mohon kepadamu (Daif), jangan bersedih terlalu lama, jangan pula menyalahkan bulan Agustus,” tulis Widad dalam suratnya buat Daif.

Agustus pun menjadi kian bermakna bagi Daif. Di bulan itu dia dilahirkan dan di bulan itu pula dia kehilangan tiga orang paling dia kasihi.

Middle East Monitor/Faisal Assegaf

Leave a comment