Ditembak Lelaki Arab, Diselamatkan Dokter Arab

Ahmad Id bakal tersinggung jika ada yang menanyakan soal kesetiannya terhadap Israel lantaran dia orang Arab.

Dokter Arab rawat pasien Yahudi

Ahad, 4 Agustus 2014. Seorang lelaki bersenjata dan bersepeda motor dari jarak dekat menembak ke arah Chen Schwartz di daerah Gunung Skopus, Yerusalem. Dua peluru mengenai serdadu Israel itu. Dia luka parah dan segera dilarikan ke Rumah Sakit Hadassah.

Profesor Ahmad Id, kepala tim operasi rumah sakit, diminta ke ruang operasi dan menangani korban. “Dia kehilangan banyak darah,” kenang Id. Dia kemudian menelepon dokter ahli dari sebuah rumah sakit di daerah Ein Karem. Dokter perempuan itu datang dikawan seorang polisi bermotor.

Operasi berlangsung dan ditangani oleh tim beranggotakan sejumlah dokter pakar di pelbagai bidang. “Cederanya sangat fatal. Dia tentu akan mati jika tidak dioperasi secara sangat cermat,” kata Id.

Setelah menjalani beberapa kali operasi, kondisi Schwartz kini telah membaik. Dengan senyum mengembang penuh, ibunya, Miri, sangat berterima kasih kepada dokter Id.

Ini bukan sekadar cerita seorang pria bersenjata menembak korban dan dokter menyelamatkan dia dari kematian. Ini adalah kisah seorang lelaki Arab menembak tentara Yahudi dan dokter Arab menolong nyawanya.

Id tidak peduli konflik berkepanjangan antara Yahudi dan Arab sejak Israel terbentuk. Apalagi penembakan terhadap Schwartz terjadi saat mesin perang Israel tengah membantai warga Gaza. Perang tengah berkecamuk ini memicu banyak bentrokan di Tepi Barat.

“Ya, seorang Arab menembak dia dan satu Arab lainnya menyelamatkan dia,” ujar Id merujuk kepada kasus Schwartz. “Saya hanya mengerjakan tugas saya.”

Ahmad Id dilahirkan 64 tahun lalu di Daburiyya, sebelah timur Nazareth. Dia memiliki sembilan saudara kandung dan cuma dia yang kuliah. “Saya berotak encer dan belajar sungguh-sungguh. Saya mendapat banyak sokongan,” tuturnya.

Dia lalu mendapat beasiswa untuk lanjut ke SMP di Nazareth. Dari sana dia melanjutkan pendidikan ke SMA di Yerusalem pada 1968. Dia lulus dengan nilai terbaik dalam pelajaran fisika dan matematika. Dia kemudian kuliah jurusan kedokteran. “Ayah berharap saya membuka klinik di Daburiyya tapi saya mengecewakan dia memilih tinggal di sini (Yerusalem),” tuturnya seraya tersenyum.

Sehabis lulus, dia bekerja di Rumah Sakit Hadassah dengan spesialisasi operasi transplantasi. Dari 1986 hingga 1990, Id belajar soal transplantasi hati di Klinik Mayo, Amerika Serikat. Setahun kemudian, dia menjadi dokter pertama di Israel berhasil menjalankan operasi transplantasi hati. Pasiennya adalah boca imigran asal Rusia. “Dia masih hidup dan kami tetap berkomunikasi. Sayangnya, dia tinggal di New York,” kata Id.

Id becerita semasa kecil dia berhubungan baik dengan anak-anak imigran Yahudi dari Kibbutz Ein Dor. Permukiman itu hanya beberapa menit jauhnya dari Daburiyya, desa kelahiran Id. “Saya sering bermain ke sana dan mereka juga kerap bermain ke sini,” ujarnya.

Meski beretnik Arab, Id merasa bagian dari Israel. Sebab itu, dia suka tersinggung jika ada orang mempertanyakan kesetiannya terhadap negara Zionis itu. “Saya orang Israel dan saya tidak perlu membuktikan itu,” tegasnya. “Kesetiaan saya kepada negara ini tidak perlu diragukan.”

Id menjelaskan Rumah Sakit Hadassah adalah contoh kecil positif dari hubungan antara orang Arab dan Yahudi. Setengah dari total pasien di sana adalah orang Arab. “Tidak ada drama di sini. Para elite politik seharusnya ke mari dan belajar dari sini.”

Times of Israel/Faisal Assegaf

Leave a comment