Jika Mandela Orang Palestina

Oleh: Faisal Assegaf

Dunia seolah terguncang dengan wafatnya pemimpin perjuangan anti-apartheid sekaligus mantan Presiden Afrika Selatan Jumat pekan lalu. Kesohoran namanya lintas ras dan benua. Sampai-sampai semua media, termasuk media sosial, seharian mengupas sosok dan jasanya dalam memberangus politik rasis semasa rezim kulit putih berkuasa di negaranya.

Begitu banyak orang mengagumi Mandela. Stadion Soccer City di Kota Johannesburg berkapasitas hampir 85 ribu tempat duduk penuh saat acara mengenang kematian lelaki berdarah Suku Thembu itu dilangsungkan di sana Selasa lalu. Seratusan kepala negara hadir buat memberikan penghormatan terakhir terhadap jasad berusia 95 tahun itu.

Mandela telah mengukir namanya dalam tinta sejarah. Dia terlibat dalam gerakan menentang apartheid dan bergabung dengan Kongers Nasional Afrika (ANC) saat usianya baru seperempat abad. Dia mengawali perjuangan dengan cara kekerasan, termasuk menghalalkan serangan bom terhadap warga sipil. Sampai akhirnya dia ditangkap dan divonis penjara seumur hidup pada 1962.

Karena tekanan dunia internasional, termasuk sanksi ekonomi, Presiden Afrika Selatan Frederick Willem de Klerk lantas membebaskan Mandela pada 1990 setelah mendekam 27 tahun dalam kurungan. Tiga tahun kemudian, Mandela bersama De Klerk memperoleh Nobel Perdamaian atas jasa mereka melenyapkan apartheid di negara itu.

Rakyat Afrika Selatan boleh saja berbangga hati lantaran mereka memiliki tokoh besar diakui jagat seperti Mandela. Tapi bagaimana jadinya jika Mandela itu orang Palestina dan berjuang menghadapi rezim Zionis rasis dan diskriminatif . Kenyataan tentu bakal berkata lain.

Mandela sangat mungkin mendekam seumur hidup di penjara Israel karena tangannya berlumuran darah penduduk sipil. Persis seperti Marwan Barghuti, pemimpin dua intifadah, kini menghuni Penjara Hadarim, dengan hukuman penjara lima kali seumur hidup ditambah 40 tahun.

Penghormatan begitu besar para pemimpin dunia terhadap perjuangan Mandela di masa lalu. Tokoh-tokoh global seakan lupa ada banyak Mandela di tanah Palestina. Mereka  berjuang untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan, sama seperti Mandela. Kondisi mereka pun serupa Mandela: terhina dan menderita.

Bahkan bisa dibilang jauh lebih buruk. Rakyat Palestina masih memimpikan negara merdeka dan berdaulat. Sebuah impian sangat mungkin mustahil digapai. Perundingan dengan Israel selama ini selalu berakhir mandek lantaran terganjal tiga tuntutan utama dari pihak Palestina: perbatasan sebelum Perang Enam Hari 1967, pemulangan pengungsi Palestina, dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.

Israel menolak yang pertama karena harus menyerahkan seluruh Tepi Barat, termasuk Yerusalem, dan Jalur Gaza. Padahal, total luas kedua wilayah ini 22 persen dari seluruh tanah Palestina sebelum negara Israel terbentuk. Tuntutan kedua tidak akan dipenuhi oleh Israel lantaran akan ada lebih dari lima juta orang Palestina kembali ke wilayah Israel. Ini bukan sekadar membuat warga Yahudi menjadi minoritas, tapi orang-orang Palestina ini bakal meminta tanah dan rumah mereka dirampas saat peristiwa Nakbah.

Negara Zionis itu dipastikan tidak akan mengabulkan tuntutan ketiga sebab Israel meyakini Kuil Suci Sulaiman pernah berdiri di atas lahan kini berdiri Masjid Al-Aqsa. Apalagi, Israel sudah menetapkan lewat Hukum Dasar Yerusalem disahkan Knesset (parlemen Israel) pada 1980: Yerusalem adalah ibu kota abadi Israel dan tidak dapat dibagi dua dengan Palestina. Paling rasional, Yerusalem Timur mirip Makkah dan Madinah di Arab Saudi. Kota suci tiga agama – Yahudi, nasrani, dan Islam – selalu kebanjiran peziarah saban tahun. Menurut data Kementerian Pariwisata Israel, rata-rata 2,5 juta orang berkunjung ke sana tiap tahun.

Bangsa Palestina saban hari selalu menjadi korban kekejaman Israel: ditangkap tanpa tuduhan, ditahan tanpa diadili, tanah dirampas, rumah digusur. Belum lagi, ratusan pos pemeriksaan dan proyek Tembok Pemisah di Tepi Barat. Semua ini membuat warga Palestina sulit berkegiatan.

Ditambah  dua kali agresi setelah Israel mundur dari Gaza delapan tahun lalu. Ribuan orang tewas. Bahkan, Gaza saat ini tak ubahnya penjara raksasa akibat blokade Israel setelah Hamas menang pemilihan umum 25 Januari 2006.

Tapi masyarakat global tidak satu suara mendesak Israel melepaskan ribuan tahanan Palestina. Mereka tidak lantang menekan Tel Aviv segera mundur dari wilayah jajahan mereka. Negara-negara besar dan berpengaruh tidak berani menerapkan sanksi atau melakukan intervensi militer buat menghentikan kejahatan perang dan kemanusiaan dilakoni Israel. Kesimpulan ini pernah disampaikan komite pencari fakta bentukan Dewan Hak Asasi PBB setelah Perang Gaza Desember 2008-Januari 2009 dipimpin Richard Goldstone.

Kalau saja Mandela orang Palestina, mengutip biografinya berjudul Long Walk to Freedom, dia masih bakal menempuh jalan panjang tanpa ujung buat meraih kebebasan.

Dimuat di Harian Nasional, 13 Desember 2013

Leave a comment