Israel Biadab di Mata Raghad

Tentara Israel menembak mati pamannya Raghad sudah mengibarkan bendera putih.

Raghad Qudah berdiri di depan rumah pamannya telah hancur di Khuzaa, Khan Yunis, selatan Jalur Gaza.

Jumat, 25 Juli 2014. Raghad Qudah tidak mempunyai tempat berlindung selain di rumah pamannya, Muhammad Taufik Qudah, 64 tahun. Sebab di sana ada ruang bawah tanah.

Selama dua malam berturut-turut pasukan israel menggunakan pelbagai jenis senjata dan rudal buat menggempur rumahnya di Khuzaa, Khan Yunis, selatan Jalur Gaza. “Mereka juga menggunakan pestisida seperti sedang membunuh serangga,” kata Raghad.

Di hari itu, rumah tetangganya, Helmi Abu Rajala, bersebelahan dengan kediamannya, hancur dibom. Sejumlah mayat terhimpit di balik reruntuhan. Pasukan israel kemudian secara serampangan menembaki rumahnya. Saat jeda, Raghad sekeluarga berlari menuju rumah pamannya.

Di dalam ruang bawah itulah Raghad bersama 21 anggota keluarganya, termasuk saudara-saudara kandung perempuan dan ibunya, bersembunyi. Tidak ada yang mau keluar. Tetangga-tetangganya berusaha kabur dari Khuzaa cedera dan terbunuh. Beberapa di antara mereka disuruh pergi oleh pasukan khusus Israel bertopeng malah ditembak mati oleh penembak runduk.

Kami tetap bersembunyi sampai Jumat siang,” ujar Raghad berurai air mata. “Buldoser Israel mendekati rumah paman saya dan pasukan Israel mendobrak masuk.”

Saat sebuah buldoser mulai melumat rumah paman Raghad, pasukan Israel masuk ke dalam. “Kami menutup tirai dan berteriak saat sebuah peluru mengenai pintu rumah. Kemudian terdengar teriakan meminta kami keluar,” tutur Raghad.

Muhammad, paman Raghad, lalu bilang kepada keluarganya, dia akan membuka pintu. Dia bakal keluar memberitahu pasukan Israel di dalam rumah cuma warga sipil. ‘Dia keluar seraya mengibarkan bendera putih. Dia cuma bilang, ‘Saya orang sipil. Hanya ada perempuan, anak-anak, dan orang renta di sini’,” kata Raghad.

Muhammad, biasanya tinggal di Spanyol, juga menunjukkan kartu izin tinggal di Spanyol miliknya. Dia berbicara dengan pasukan Israel itu memakai bahasa Inggris, Ibrani, Arab, dan Spanyol. Dia lalu mendekat, berbicara pelan dan sopan. “Tolong jangan tembak saya,” katanya.

Tiba-tiba saja satu tembakan meluncur dari jarak dekat. Pelakunya adalah seorang serdadu Israel berambut pirang dengan senapan M-16. Usianya paling banter 20 tahun. “Saya memandang ke arah matanya dan kedua matanya basah,” ujar Raghad.

Raghad benar-benar terkejut. Dia tidak percaya tentara Israel bakal menembak seorang pria sipil tidak bersenjata. “Itu pembunuhan berdarah dingin. Dia cuma manusia dibunuh di depan mata kami tanpa alasan,” tutur mahasiswi tahun pertama jurusan bahasa Inggris ini.

Setelah menghabisi ayahnya, Buthina Qudah bercerita tiga serdadu Israel itu mundur sambil melemparkan gas air mata. Raghad dan keluarganya masuk lagi ke dalam rumah.

Beberapa menit kemudian tiga tentara tadi datang lagi. “kenapa kalian tidak pergi dari rumah ini,” tanya mereka. “Kami telah mencoba,” jawab Raghad. “Tapi kalian menembaki kami. Peluru-peluru kalian memaksa kami tetap tinggal dalam rumah.”

Raghad ingat betul situasi saat itu benar-benar menakutkan. Semua hewan peliharaan pamannya – kambing, burung dara, ayam, dan anjing – mati. Bangkai mereka bergelimpangan.

Raghad berbicara dengan penembak pamannya memakai bahasa Inggris. Tentara itu bungkam. Dia cuma siaga dengan M-16nya, siap menembak siapa saja.

Raghad sekeluarga lantas disuruh keluar dan mereka kembali ke rumah. Saat mereka berjalan, pasukan israel berjaka dua meter menembaki di sekitar kaki mereka buat menakuti. “Mereka tidak punay rasa kemanusiaan.

Mereka kejam dan tidak berhati,” kata Raghad seraya menahan tangis. Mereka lalu bersembunyi di bawah tangga. Satu-satunya tempat mereka rasa aman. Sebuah buldoser lantas mendobrak tembok pagar rumahnya. Satu peluru mengenai anak tangga.

Seorang serdadu kemudian berteriak, “Raghad kemari…siapa di dalam?”

“Hanya keluarga saya,” kata Raghad. Mereka semua lantas dirusuh keluar satu-satu. Raghad dan keluarganya dibawa kembali ke rumah pamannya.

Anak-anak berteriak minta iar minum. Namun dua serdadu Israel berambut pirang mengawasi mereka cuek saja. Keduanya tidak mengizinkan siapa saja pergi ke kamar mandi atau mengambil air minum. “Kami di bawah todongan senjata, tidak bisa berbuat apa-apa,” ujar Raghad. Lalu seorang serdadu Israel dari sekte Druze memberi mereka sebotol air minum.

Saban kali Raghad bertanya kepada seorang serdadu Israel kapan mereka bisa pergi dan menggunakan toilet, mereka cuma bilang, “Tanya Hamas.”

Akhirnya Raghad bersama ayah dan keluarganya – empat anak, sepuluh perempuan dan enam lelaki – dibolehkan pergi. Mereka melewati jenazah paman Raghad tergeletak bersimbah darah. Mereka cuma memiliki waktu beberapa detik buat menyampaikan salam perpisahan. Ada yang mencium, tangan, kening, dan kakinya. Yang penting tidak berisik.

Raghad masih sempat bertanya kepada salah satu prajurit berbahasa Inggris. “Kenapa kalian membunuh paman saya?” kata Rgahad. “Air matanya meleleh saat dia balik badan.”

Seorang prajurit lain membagikan permen kepada anak-anak. Mereka mengambil pemberian itu lantaran lapar dan haus.

Mayat pamannya Raghad baru bisa diangkut ke Rumah sakit Nasir beberapa hari kemudian. Dia menjadi bukti kebengisan Israel dan Raghad adalah saksi kebiadaban tentara Zionis.

Setelah berjalan sejauh tujuh kilometer, Raghad sekeluarga selamat keluar dari Khuzaa.

Middle East Eye/Faisal Assegaf

Leave a comment